Kalau di dunia industri majalah yang merambah di mana-mana kayak lumut, sudah lumrah tuh kalau turnover karyawan tinggi. misalnya kita pas liputan, ketemu jurnalis lainnya. Anggaplah ketemu si A. (ini sering banget kejadian soalnya, dan mengusik pikiran saya)
B: Hai A, pa kabar..? Lo di majalah mana sekarang?
A: Hi, gue di majalah X. baru dua bulan.
B: Oh, pantes, kan dulu lo di majalah Y.
A: Iya, dan bulan depan gue masuk majalah Z.
B: &&*&*(%$%#$#???
Maklumlah, sekarang kalau ada tawaran lebih menarik pasti ya begitu. Ninggalin tempat yang lama, padahal kan bisa saja si A itu belum benar-benar memahami pekerjaan dan segalanya di kantor lama, tapi dengan enaknya pindah begitu saja dan melupakan momen2 bahagia di kantor lama. Begitu lihat majalah lain yang lebih hits dan sepertinya lebih makmur, langsung loncat kaya kutu. Tanpa alasan yang logis.
Namun bukan hanya dalam industri majalah aja, hampir semua aspek kehidupan seperti itu sekarang ini. Fiuhh.. Begitu sering turnover dalam hidup, people come and go as easy as you get stomachache and do fart, tanpa alasan yang bisa dijelaskan (emangnya kamu bisa mengerti bagaimana proses kamu kentut?) He he.. And something changes easily. Masih dengan contoh yang sama, misalnya hari ini saya sakit perut dan tanda-tandanya besok saya nggak bisa masuk kerja. Eh tahunya besok sudah sehat dan bekerja. We can't guess life, huh?
"And I believe, we lost some, we'll gain more. No matter how sad we feel about that 'some'. No one can guess and explain. I'm not talking about God, it might be about 'Jodoh' itself. And when we find people that stay by our side with billions of reasons, it means they are who we trust."
No comments:
Post a Comment