Yolody's Room

Wednesday, October 27, 2010

A cup of warm heart

I received a birthday gift from my editor at large, Ivana Atmojo. This cup is filled by her cheerfulness and warm heart
I was really touched by the greeting card, through her beautiful writing.
The last sentence on the card is "You're an inspiration, Faye!"
*spechless*--------------- after freezing for two hours, I asked.. "Am I?"



Monday, October 25, 2010

New Sign

Hehhehe.. yesterday I got this tattoo. Some of my friends asked me why. He he.. just fulfilling my curiosity bout this. Anyway, I like tattoo. :)
I'm Faye, and it's a fairy.


Friday, October 22, 2010

23 is BIG number!

Hi, I'm back after break a while because there was a burst in my brain. So I had no time even to take a look for my blog. Now, I'm really forcing my self to open this, open my sleepy eyes, let my fingers dance on the keypads. Why? Because some of my friends poked me "Heyy update ur blog again, I love it." "Ur blog is very great." "I like reading ur blog." Wow. I really didn't think it is that great. Then I thought I should be fair. So, I'm writing now. :)

Today is my BIG day. They say. Hmm before I go further, I think It's better to write in Bahasa. Mother languange's the best for this time :)

Semalam, tepatnya di malam terakhir saya berusia 22 tahun, saya merasa sebuah gumpalan siap meletus dari ubun-ubun. sebelumnya maaf kalau kalian bosan mendengarkan curhat saya soal kerjaan, but I must get it out! (kalau nggak beneran meletus.) :p

Majalah edisi yang sedang saya kerjakan bulan ini, sangat overload. saya harus bikin berbelas rubrik untuk dipublikasi, dalam waktu dua minggu. Di mana setiap rubriknya, harus saya kerjakan dengan hati. Believe it or not, it's true. Writing is my passion. So I will do anything for this! :)

Belum lagi saya banyak kegiatan lain. Waktu saya termakan banyak. Kehidupan percintaan pun jadi terabaikan. Apalagi si dia juga sibuknya selangit. Maaf, yet it doesn't mean anything happen.

Puncaknya semalam, di mana saya benar-benar lelah setelah beraktivitas seharian non-stop.
Saya masih harus menulis beberapa artikel besar yang mendadak. Saya pulang jam 11 malam, dan langsung saya menulis sampai jam setengah dua pagi. Saya memang tak biasa begadang. Jadilah saya mengumpulkan semua energi untuk menjadikan sebuah artikel bertema kuliner dan mengangkat profil seseorang tokoh Kuliner yang menyenangkan. I was trying my best. Di sela-sela pekerjaan, teman2 saya mengucapkan selamat hari ultah, lewat YM dan facebook. Saat itu, saya tak merasa saya sedang berulang tahun. Saya merasa itu hari kiamat.

Akhirnya, tulisan rampung dan saya tidur. Enam jam kemudian, saya sudah berangkat ke hotel four season untuk meliput Clear Hair Model seharian. Energi kembali terkuras.
Sore, rencana makan dengan keluarga batal. Saya pergi ke kantor LSM seorang teman, di mana saya berperan sebagai penulis sukarelawan. Sembari menulis, sembari membaca ucapan selamat ulang tahun di facebook.

Dari beberapa komentar, mereka bilang "keep writing and I really love ur blog. " Man. Saya tersenyum dan terdiam. Nggak fair kalau saya sudah berhasil membuat mereka tertarik dengan tulisan saya, lantas saya tinggalkan begitu saja. :)
Lalu, sebuah sms datang dari vokalis Tanah Air yang saya suka, Marcell Siahaan. Kami berteman di dunia nyata dan maya. Biarpun aktif di FB, dia tetap sms saya. Saya nyengir lagi. Di sisi lain, Saya juga kecewa dengan sahabat saya yang berulang tahunnya bersamaan dengan saya. (I know u'll read it and, I know u know it's disappointing) . Mendadak dia membatalkan rencana dinner bareng dengan teman-teman saya yang lain. Tak apa, saya kecewa karena saya lelah, besok juga udah lupa .

Saya pulang di malam hari. Belum mandi sampai sekarang (jam setengah 11 boo!), lalu saya kembali menulis. Sambil video chatting dengan kakak dan ponakan saya di Jerman. Smabil membalas ucapan di FB. Mata saya sekarang sedikit-sedikit mengedip. Bukan centil, tapi tak kuat. Leher saya hampir lepas dari tempatnya. Ibu saya sudah cemas, takut saya terkena tipes (lagi).

Lantas, saya tetap berusaha duduk diam, mengumpulkan energi dan menegakan kepala yang sudah keleyengan. Kalau lihat penampilan saya sekarang, susah bedain antara panda, monyet (karena saya garuk2 belum mandi), atau cacing (gelisah ga bisa diam).

Besok pagi saya harus kembali ke kantor untuk mengecek layout tulisan. (besok hari Sabtu booo! *mikir kapan gue sempet makan-makan*. Saya (berusaha) tak mengeluh. Walau dua minggu ini rasanya letih sekali, kecewa, sekali-kali nyengir, tertawa keras-keras (demi melepas stress), saya nikmati setiap detiknya. Sebagian orang bilang, 'kasihan banget saat ulang tahun tapi kerja mati-matian.' Hmm Itu sebuah kenikmatan tersendiri buat saya. :)

.. Mungkin proses menuju kedewasaan yang tak ada ujungnya ya begini. Saat apapun yang terjadi, seburuk apapun itu, tetap membuat kita stand-up dan nyegir. :p


(oh, sekarang badan saya berkeringat dingin, sakit perut dan gemetaran saking lelahnya. Saya sebaiknya sudahi tulisan ini. Saya mandi air hangat dulu sebentar.)

Happy birthday 23th to me and Tata! :)

xoxo.

Tuesday, October 12, 2010

Bring back my rights!

He.. he..he..
Long time no 'ngupil' :)

Biasa lah, lagi tanggal padet-padetnya merampungkan tulisan majalah edisi depan. Sibuk-sibuknya handle photoshoot.. seperti hari ini. :)

---di mana kalau lagi sakit kepala karena kerjaan, setiap buka blog, maunya langsung nutup---

Seperti ada ungkapan: hati senang, waktu pun terasa cepat berlalu. Seperti hari ini, seribet apapun photoshoot, walaupun menjadi single fighter (maksudnya tanpa asisten). Untunglah, kedua model saya baik hati dan tak sombong. Salon Shunji Matsuo dan Firman salon, make up artist,fotografer dan humas lokasi foto saya sangat kooperatif. Hanya kesulitan berbahasa dengan Takeda-san dari Shunji Matsuo.

Siang lewat begitu saja mendatangkan sore. Saya berguling ke Plaza Senayan, sambil ngeteh di warung kupi, membaca dan chatting, menunggu meeting saya sore ini dengan seorang penikmat kuliner dunia.

Segera setelah memesan teh yang super panas, saya melihat teman-teman sesama jurnalis di meja tetangga. Langsunglah saya lompat ke sana, dan bodohnya membiarkan meja dan sofa saya kosong, hanya dengan segelas teh panas. Beberapa menit kemudian, saya balik ke sofa, dan sekelompok orang ada di sana. Teh saya: RAIB.

Usut punya usut, teh saya diangkat dan DIBUANG oleh barista. Untungnya karena zaman sekarang emansipasi perempuan sudah tinggi, saya memperjuangkan TEH saya kembali dan juga SOFA saya. Dalam hati saya teriak.. kembalikan hak-hakku, saudara. Atau bahasa baratnya: Hey dude, bring back my rights!

Hasilnya: teh saya diganti dengan harga yang lebih mahal, dan saya bisa kembali tenggelam di sofa empuk saya. Sekilas saya berpikir, kok egois sekali saya, kan saya juga berkontribusi menyumbang kesalahan karena membiarkan meja saya kosong.

Tapi, untunglah orang-orang itu mengerti dan berimpati dengan saya. Terima kasih yaaaaa :)

Lalu, meeting saya berempat (dengan Uci dan Imelda) bersama si penikmat kuliner dunia&senior komunitas Jalan Sutra berjalan dengan baik dan menghasilkan sesuatu.

Selain itu, satu lagi kesempatan saya datang dalam dunia coret-mencoret. Rencananya, saya akan menjadi tim penulis untuk membuat buku pengetahuan empat seri yang akan diluncurkah di tahun 2011. Wow.

Keep hoping, praying and working.

Tuesday, October 5, 2010

Judulnya perempuan

Kemarin, di sebuah halte, di tengah kebisingan kota Jakarta yang penuh asap kendaraan, seorang perempuan duduk di sana. Kulitnya hitam di balik jilbab. Bak anak sekolah, ia memakai tas ransel. Sebuah tongkat tersandar di sampingnya.

Aku berdiri di dekatnya, namun urung untuk duduk di sebelahnya. Asyik sekali ia nampaknya, sampai tak sadar beberapa pasang mata memperhatikan setiap gelagatnya.

Ia berbicara dengan bahasa isyarat. Dari bahasa tangannya, seakan ia adalah seorang manajer yang sedang melakukan presentasi pada karyawan-karyawannya. Seolah di depannya ada sebuah proyektor, di mana projek yang sedang ia jelaskan, sangat penting.

Lalu, di tengah presentasi, seakan ada seorang karyawan yang datang terlambat. Perempuan itu menunjuk-nunjuk jam tangannya, seakan berkata, "Sudah jam berapa ini? Lagi-lagi kamu terlambat. Kamu tahu kan waktu itu sangat penting? Sekali lagi terlambat, mati kamu, " kata dia seraya berlagak menonjok wajahnya sendiri.

Kemudian, ia mengelus perutnya yang seakan sedang hamil. Sekali-kali, ia seperti menulis di udara. Aku berusaha membaca bentuk huruf yang ia buat, tapi gagal. Hanya beberapa hurufnya saja yang dapat kucerna. Tak berarti apa-apa.

Lalu kembali ia melakukan presentasi, lalu kembali menunjuk jam tangannya, dan berlagak meninju wajahnya. Begitu terus ia lakukan.

Perempuan itu gila. Perempuan itu mantan manager. Perempuan itu jago akting. Perempuan itu stress karena ditipu.

Terserah apapun persepsi orang terhadapnya, yang pasti ia hanya seorang perempuan biasa sepertiku. Hanya saja ia memiliki kisah hidupnya sendiri. Kalau toh ia memang gila, yang penting ia tak mengganggu. Aku berterima kasih padanya karena telah mengisi waktuku sembari aku menunggu mobil temanku, untuk sama-sama berangkat ke kantor. Dari waktu beberapa menit itu, aku sudah mendapat pelajaran.

Tak lama, sebuah mobil berhenti di depanku. Aku masuk, dan langsung kuceritakan tentang perempuan unik itu pada temanku.

Mimpi Gigi

Pernah dengar mitos tentang mimpi gigi yang tanggal?

Sudah lama saya mendengar tentang itu, dan seingat saya, itu pertanda buruk. Tapi, tak pernah saya menghafalkan artinya, karena saya pikir, tak mungkin mimpi saya sama seperti yang pernah dialami banyak orang: gigi tanggal.

Sampai tadi pagi, saya terbangun karena bermimpi gigi kesayangan saya. Barisan depan kanan, bagain bawah, rasanya gigi saya goyang semua. Menyusul depan sebelah kiri. Setiap mau bicara, gigi saya menari-nari karena hampir lepas.

Lalu, saya bertemu seorang teman (tak perlu disebut siapa namanya), dan kami berjumpa di sebuah restoran. Saya menceritakan peroblema gigi-gigi saya. Entah bagaimana, saya mencabut gigi-gigi bawah saya di depan dia. Lalu tiba-tiba, gigi-gigi atas saya juga tercabut. Eh malah teman saya itu membantu menuntaskan mencabut gigi saya yang lain.

Jadilah saya ompong.

Saya terbangun, memastikan gigi saya masih utuh. Lega rasanya.

Lalu saya mendapati sms dari seorang tante, dan dia memberitahukan bahwa ayah dari ipar-sepupu saya meninggal. Sebenarnya, sama sekali saya tidak kenal.

lalu, saya bertanya-tanya kenapa saya bermimpi aneh seperti itu.
Dengan sigap saya bertanya pada paman Google. Katanya, itu suatu pertanda bahwa akan ada keluarga yang meninggal.

Saya diam terpaku di tepi kasur.

Hati saya menolak penuh untuk percaya, mengingat saya bukan keturunan dari seorang cenayang yang bisa membaca apa yang terjadi di masa depan.

Semoga ini hanya peringatan supaya saya tak lupa menggosok gigi setiap hari.

Saya berharap itu hanya sebuah mitos belaka yang benar-benar belaka.

Amin.

Tak Sama Tapi Serupa

Beberapa waktu lalu di siang hari saya naik taksi putih di tengah kesejukan kota Jakarta. Bisa dibilang, dari sepuluh hari terik, satu hari Jakarta terasa sejuk. Mungkin awan-awan sedang asyik bercinta dengan matahari, sehingga sinarnya tertutup dan tak sempat menyorot penduduk Jakarta. Taksi melaju ke arah patung Pancoran, di mana ada empat polisi berompi hijau sedang berkumpul. Kuperhatikan paras mereka satu-persatu. Mengingat-ingat siapa dari antara mereka yang pernah memintaku denda separo juta perak beberapa bulan lalu tanpa alasan yang jelas.

Alih-alih mengenyahkan perasaan sugestiku yang kuat pada polisi, saya malah susah untuk tetap tenang ketika melihat mereka. Memang, sejak peristiwa itu, saya selalu merasa parno kalau melihat polisi lalu lintas. Tak lama kemudian, saya berurusan dengan aparat. Kali ini Brimob, bukan polisi lalu lintas. Saya pikir dunia sama sekali tak adil, mengapa giliran dia yang salah, saya tak bisa balas menilang?

Berawal dari ketika sebuah motor menyerempet tubuh mobil sebelah kanan dengan badan besinya. Motor itu lantas begitu saja melewati taksi yang kutumpangi. Jaket bercorak militer dikibar angin. Tulisan “BRIMOB’ terpampang jelas di tasnya yang diletakkan di belakang. Seakan ia ingin memberitahu dunia, ‘hanya BRIMOB yang boleh macam-macam’.

“Dasar, brimob-brimob-an,” gumamku.

Tiba-tiba, si sopir taksi balas menyambung.


“Sekarang Brimob sudah nggak kayak dulu lagi. Dulu bisa main hajar langsung. Kalau sekarang, saya juga berani kalau diajak berantem sama Brimob. Saya berani suruh dia lepas seragamnya dulu,” ucap pak sopir sambil terus mengemudi dengan santai.


Beberapa jam kemudian setelah kejadian itu, saya membunuh waktu di sebuah kedai kopi. Pemandangan di depan saya orang-orang sedang sibuk bercengkrama dengan para relasinya. Wajah mereka menggambarkan keseriusan, entah sedang membicarakan suatu hal yang penting, atau hanya agar sekedar terlihat eksis. Sambil sedikit melamun dan memperhatikan bahasa tubuh mereka, pikiran saya melayang kembali pada peristiwa itu.

Sempat saya menduga bahwa itu hanya orang yang memakai jaket Brimob, mungkin ia membordir di tukang jahit langganannya. Tapi, mungkin hanya orang gila yang berani melakukan itu. Jadilah saya semakin berpikir negatif terhadap aparat. Kasarnya, sok-sok ngajarin yang bener tapi malah menjilat ludah sendiri.

Rasa kesal belum tuntas terobati,kembali saya berurusan dengan aparat. Para wajib militer yang bergerombol di dalam truk. Sebut saja ABRI. Mobil kantor yang sedang saya tumpangi pada minggu lalu, diberhentikan seorang polisi di jalur sebelah kiri jalan tol. Anto, sopir saya, turun dan berdebat sambil merayu sedikit agar terlepas dari denda tilang.

“Dan.. Maaf deh, Dan..” Kata Anto, memanggil si polisi dengan sebutan ‘Komandan’. Lantas ia memperlihatkan kartu persnya yang fotonya sudah pudar. “Ini mau liputan, Dan. Maaf saya salah, Dan,” lanjutnya.


“Ya nggak ngaruh mau pakai kartu apa juga,” kata si polisi
Di dalam mobil saya berdoa dan tangan saya sudah berkeringat. Parno lagi.Was-was lagi.


Akhirnya, setelah beberapa menit, kami ‘dibebaskan tanpa syarat’. Lega sekali rasanya. Saya ingin mulai berpikir positif tentang polisi. Ternyata tak semua polisi mata duitan. Mobil kembali menggelinding di jalur yang benar. Tak lama, sebuah mobil besar mendahului kami dari jalur kiri. Mobil ABRI.


Anto mencak-mencak di samping saya. “Tuh kan, giliran ABRI aja boleh pakai jalur kiri!”

Entah itu polisi lalu lintas, Brimob maupun TNI, smuanya tak sama tapi serupa.

Sekali lagi saya menggeleng-geleng kepala sambil melihat jalanan melalui jendela.

(re-posting dari notes FB)