Yolody's Room

Wednesday, September 30, 2009

Lebaran, Bogor dan kembang duren.

Jakarta, 22 September 2009 (sambil nemenin orang jelek ngorok di sebelah)

Lebaran adalah liburan buatku, tepatnya kemarin. Melepas dari kepenatan dan keriweuhan kota Jakarta, dengan melarikan diri ke kota Bogor, berkunjung ke rumah saudara di Tajur. Di balik gerbang besar berwarna hijau, ada kebun luas mengelilingi rumahnya. Keluargaku disambut seruan seekor anjing Golden, seekor anjing tekel campuran, seekor Dalmatian dan dua ekor anjing pomerian.



Tepat sekali saat itu waktu makan siang, dan di atas meja tersedia sayuran yang tidak aku ataupun kamu kenal. Namanya kembag duren. Seperti tumis jamur, panjang, kenyal dan renyah. Kembang itu didapat dari pohon duren yag mereka rawat di kebun. Lucu sekali, tidak menyangka kembang yang biasanya hanya merepotkan, membuat kebun berantakan, bisa disantap. Rasanya? Kalau tidak enak aku tak akan nambah berkali-kali.



Malam tiba, sepupu-sepupuku dan pacar-pacarnya mulai datang dari Jakarta. Sudah lama sekali rasanya ketemu mereka, smpai canggung pada awalnya, dan seru pada akhirnya. Dalam sebuah rumah, malam itu dihuni lebih dari 10 orang dan anjing-anjing, malam itu menjadi spesial. Bukan hanya yang merayakan lebaran saja yang bisa berkumpul dengan seru, kami juga bisa.
Mengobrol mulai dari topik film, jurusan kuliah, sampai mantan-mantan pacar aku lakoni. Edwin yang ikut berlibur, seru main counter strike bersama Iman, salah satu sepupu saya. Tak mau kalah seru, Hani dan Melko, kedua anjing pom, ikutan seru. Begitu melihat tungkai siapapun, pasti Hani mengajak kawin, seperti tidak ada yang melihat saja, Setiap ada orang yang ia anggap asik, langsung dijajah badannya dengan cakaran dan jilatannya.



Esok paginya, aku mengawali pagi dengan membaca novel Perahu Kertas. Saya kagum sekali pada Dee sang pengarang, membuatku enggan menyudahinya. Rencana kami selanjutnya adalah berkunjung ke rumah saudara yang lain, tapi tak jadi dan kunjungan ditutup dengan hidangan serupa yaitu kembang duren, ayam goreng, dan bakwan jagung super enak.

Walau hanya menginap semalam, tapi momen-momen indah tidak terelakkan. Sudah pulang, pikiran langsung merayap ke hari esok, dan esoknya lagi, di mana kantor sudah menunggu kedatanganku . ;(

Thursday, September 17, 2009

Si kembar dalam diriku

Sejak aku masih kecil dan sudah mengerti kala hidup bukan hanya diisi dengan haha-hihi belaka, aku menderita penyakit ini. Penyakit ini bersaudara kembar namun tidak identik. Karena itu, akan kusebut penyakit-penyakitku ini sebagai ‘mereka’. Mereka memang bukan penyakit mental seperti gila, idiot, terbelakang atau apapun itu. Bukan juga penyakit fisik seperti cacar, kutu air, ataupun kudis. Namun, penyakit ini berhubungan dengan fisik dan mentalku.

Di kala ku cemas dan dirundung masalah, mereka ini mengikis tubuhku sedikit demi sedikit, seperti tumor ganas yang lambat laun menghabisi. Tapi ketika hatiku senang dan tenang, bagian tubuhku yang terkikis itu tumbuh kembali dengan sendirinya seperti bunga sakura bermekaran dengan indah di musim salju. Mereka tidak akan mendatangiku ketika aku sedang berbahagia.

Seringkali ku tak sadar ketika mereka datang menyerang. Aku tidak dapat menghentikannya, malah menikmati ketika ia menggerogotiku perlahan, dan ini membuat orang-orang merasa jengah melihatku menikmatinya.

Siapakah mereka gerangan?

Tuesday, September 15, 2009

Tanah Air Indonesia, Panggung Teater Kehidupan



Kisah ini hanya sepenggal dari beribu-ribu peristiwa di tanah air tempat kita berpijak, Indonesia. Namun saya harap cerita ini dapat menginspirasi orang lain, walaupun itu hanya kamu, seorang yang membaca blog ini.

Saya sadar kulit saya putih, mata saya sipit dan setiap pagi saya butuh menempelkan scott-line pada kelopak mata saya, agar terlihat lebih besar sedikit. Saya tahu benar bahwa orang keturunan Chinese seperti saya biasanya merayakan imlek, dan terkadang akan jadi omongan di kelaurga besar apabila absen hadir ke rumah nenek dan tidak mengucap “Kyong-hi” sambil menyatukan tangan di depan dada.

Tapi saya tidak seperti itu. Saya lebih bahagia disebut sebagai orang Indonesia, bukan orang Cina. Wong saya lahir di rumah sakit Hermina Jakarta kok, bukan di rumah sakit Huadong di Tiongkok sana. Alasan apa yang membuat saya disebut orang Cina? Karena kakek dan nenek saya berasal dari RRC? Tapi, mama papa saya asli Jawa Barat kok. Karena itu, saya yakin sekali kalau saya ini murni orang Indonesia.

Teman-teman saya memang banyak yang bermata sipit juga, tapi juga banyak yang berkulit cokelat, berambut panjang sepinggul (karena itu rambutnya selalu dikepang agar tidak merepotkan) dan berlogat Jawa medok. Banyak sekali teman Jawa-ku, sampai layar komputer tidak sanggup menampung seluruh nama. Ada Ika, Yuni, Sularto, Lasimin, Wiwin, Lastri, Tri, Yanti dan masih banyak lagi. Bahkan banyak juga teman dari Bali, Riau, Palembang, Medan, Makassar, Bandung, dan daerah lainnya.

Suatu ketika kami berkumpul dalam suatu acara generasi muda nasional di Megamendung, kami tidur bersama beralas kasur dalam sebuah aula besar. Saat itu Ika dan Yuni lupa membawa kain seprai dari kampungnya, di Wonogiri sana. Untunglah saya membawa seprai ukuran Jumbo, jadilah sepraiku menjadi alas kasur kami bersama. Malam itu kami tidak tidur, tapi kasurku menjadi tempat berkumpul dan bergosip. Dengan duduk membuat satu lingkaran, kami semua berbagi cerita dengan logat yang berbeda-beda. Kata anu, teh, asu, ndas-mu, pek, tha, wong, mah, mi, mewarnai obrolan kami yang seru.

Esoknya, kami bisa berlatih teater bersama di atas panggung berhiaskan lampu-lampu berwarna-warni kami berakting. Saya jadi seorang ABG labil, dan teman-teman saya pun menjadi lawan main. Ika berperan sebagai kakak tiri, Benny dari Medan menjadi bapak, Heris dari Riau menjadi tetangga saya dan Johan dari Palembang menjadi tukang baso keliling. Dengan segenap hati kami berakting, dan setelah pertunjukan selesai, riuh tepuk tangan ratusan penonton memenuhi sekeliling panggung.

Panggung tersebut menjadi saksi, di mana sebenarnya orang-orang bisa hidup berdampingan tanpa harus peduli dari mana mereka berasal, bagaimana warna kulit mereka, bagaimana logat bicara mereka dan bagaimana cara mereka bercanda.

Mari kita membuka mata, dan melangkah ke manapun, akan terlihat segala perbedaan di sekeliling kita. Saya percaya, asalkan setiap orang bisa mengacuhkan segala perbedaan fisik yang terlihat dengan mata, logat yang terdengar, cara berpakaian, siapa orang tua mereka, dan seberapa kaya mereka, Tanah air tercinta Indonesia akan benar-benar merdeka. Merdeka dalam arti terbebas dari permusuhan dan peperangan antar manusia yang selalu menjunjung ras dan kelas sosialnya masing-masing.

Love Wine


Di sebuah bar, memandangi seorang bartender berwajah teduh, beraksi dengan dua buah botol. Dengan cekatan, ia mengayun-ayun botol-botol tersebut, seperti ada aura terang kehijauan mengikuti gerakan tangan bartender itu. Begitu bartender itu selesai, ia memanggil.

“Mas, tolong buatkan minuman buat saya.”

“Mau minum apa?”

“Red Wine.”

“Oke.” Si bartender mulai bergerak siap beraksi.

“Eh mas, sebentar, saya sebenarnya masih bingung mau minum apa.”

“Kamu butuh minuman yang seperti apa?”

“Saya butuh.. yang bisa membuat saya bergairah. Bisa membuat saya bangkit, bisa membuat saya percaya diri dan keluar dari dinding hitam tebal di sekeliling saya. Oya, saya juga perlu minuman yang membuat saya bisa berlari di samping kelumpuhan saya, membuat tanah di mana saya berpijak, bisa mendorong saya ke atas, terbang ke manapun saya mau, sampai saya tiba di tempat tujuan saya.”

“Apa ada minuman seperti itu mas?”

Bartender tersebut menatap, lalu tersenyum.

Ia pun ikut tersenyum geli, bukan karena karena bartender itu tersenyum, tapi geli sendiri dengan pesanan minumannya.

“Nggak mungkin ada ya minuman seperti itu. Bodoh saya, Ya sudah mas, Wine aja deh.”

“Siapa bilang nggak ada? Ada kok. Sebentar ya.”

Kembali botol seakan berputar-putar di sekeliling tubuhnya, seperti ia mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa dengan jurus tanpa bayangan.

“Ini sudah selesai.”

Ia terpana. “Apa namanya mas?”

Cairan merah metalik dituang ke dalam gelas kristal, dan menyodorkan gelas itu kepadanya.

“Kamu nggak perlu tahu apa namanya. Asalkan kamu percaya, pasti manjur.”

Tuesday, September 1, 2009

Wednesday afternoon inspiration

"Defeat is not the worst of failures. Not to have tried is the true failure."
--George Edward Woodberry

Guava Orange Rainy Umbrella

Terjebak dalam sebah kedai sederhana terbuat dari triplek putih,ditemani segelas jeruk hangat dan segelas jus jambu tapa gula, kami berbagi cerita. Dengan iringan irama tetesan hujan deras di luar dan rambut kami yang basah, kami berpegangan tangan, menumpahkan cerita yang beberapa hari tidak keluar.

Sampai seruput terakhir, dan hujan belum kunjung reda. Kami memutuskan berganti tempat mengobrol, masuk ke dalam ruangan kantor yang sepi. Di sana, kami berlanjut berbagi.

Akhirnya, mata lelah tidak bisa dibohongi, dan kami sepakat menerobos hujan dan bermotor ria. Aku, dengan baju terusan bermotif bunga-bunga biru, menunggang motor di belakang dengan memakai payung pink.

Roda motor merputar di atas aspal yang basah, membuat air hujan terciprat ke betis. Angin malam dan hujan bersatu padu berhembus, menyerang tubuhku. Dingin, sejuk, ngantuk, senang. Semua jadi satu.

Sekali lagi, roda motor malintas di kubangan air, dan kali ini air menyentuh paha. Mungkin aku salah kostum saat itu, tapi siapa sangka akan hujan di tengah cuaca yang selalu terik ini?

Mungkin orang-orang melihatku dengan lucu. Berpayung di atas motor. Haha.
Tapi itu bukan masalah, karena rasanya manis. :) (asalkan besok nggak masuk angin dan masih bisa berangkat ke kantor aja. Hehe.)

Icinen itu nyata

Hari Sabtu lalu, gue, Edwin, Alice, Robert dan Li-ie ketemuan di Plaza Indonesia sekitar jam enam sore. Tempat pertama kali yang kami tuju yaitu bioskop EX, dengan sasaran film The Proposal atau District 9. Lama berpikir memutuskan film apa yang mau ditonton, alhasil dua-duanya nggak kebagian tiket.

Tempat kedua yang dituju: Restoran Kuppa, masakan ala Thai. Sambil menunggu meja kosong, kami duduk di sofa dengan tumpukan majalah. Gue ambil majalah Jalan-jalan dan Destinasian. Wah, seru nih jadi travel writer, kata gue dalam hati. Tidak lama, seorang waiter memanggil kami dan meja telah tersedia. Setelah menyantap daging sapi lezat dan tomyam hangat, kami pun menuju tempat sasaran berikutnya: Pancious.

Antrilah kami di barisan orang-orang yang masuk 'waiting list'. Tidak jauh dari situ ada Ak.'sa.ra dengan desain interior dari kayu. Gue dan Edwin merasakan hal yang sama, serasa dipanggil oleh Ak.'sa.ra.

Kuberjalan menuju rak majalah, dan kubuka majalah Destinasian dan majalah Jalan-jalan, seperti yang kubaca sekilas di restoran Kuppa tadi. Berkeliling sebentar, dan kembali ke Pancious untuk mencicipi Blueberry Cheese Pancake dan Strobbery Chocolate Pancake. Pikiran gue masih tertuju pada Ak.'sa.ra. Rasanya belum puas tadi mencuci mata.

Sebelum pulang, gue dan Edwin masih menyempatkan waktu mampir lagi ke toko buku tersebut. Kami berdua melihat-lihat produk yang sangat unik di meja display. Seperti lilin ulang tahun yang tidak berbentuk angka, melainkan tulisan 'thirties', 'fourties' dan lainnya. Juga ada benda-benda lain yang sangat sederhana dan tidak terbayang benda tersebut sangat menarik untuk dijual.

Mengiringi langkah sepatu flatku di atas kayu, gue berpikir sekelibat, wah seru kalo jadi Markom Ak.'sa.ra. Hal itu langsung gue utarakan ke Edwin, sebelum akhirnya kami berdua melangkah keluar. Pulang.

Kemarin, Dimas (nama boleh pasaran, tapi orang yang bertato dan asik banget nggak ada yang seperti dia)melalui Edwin menawarkan pekerjaan sebagai Marketing Ak.'sa.ra. Gue nggak percaya, sampai akhirnya Dimas sendiri yang menelpon gue ketika gue di kantor tadi siang.

SFX : Bunyi handphone
Gue : Halo
Dimas: Boleh kenalan ga?
Gue: Hah? (dan langsung gue tutup telponnya) (dalam hati: lagi ribet gini digangguin orang gila)

SFX : Bunyi HP kedua kali
Gue : (dengan malas) Halo
Dimas: Dimaaass ini..
Gue: Haa..?? Aduuh soriii Mas, gue kira ada yang ngerjain gue. (langsung keluar ruangan)
Dimas: Iya ga papa, Eh kirimin CV loe ya buat jadi Marketing Ak.'sa.ra.
Gue: Siiipp. Gue kirimin ya!!!

Dan akhirnya, malam tadi ada pertemuan Pro-M di Jalan Padang. Apang manggil gue dan nanyain apakah gue udah dikasih tau Dimas tentang Ak.'sa.ra. Wow, amazing.

Di pertemuan yang temanya mengenai 'apakah bisa bergairah kerja dalam 365 hari?"
Pas banget temanya sama keadaan gue yang lagi bimbang dan jenuh di kerjaan, karena berbagai faktor. Jadilah gue pembicara, dan akhir dari pertemuan itu, Dimas dan Apang yang jadi narasumber.

potongan kalimat dari yang apang ngomongin di pertemuan, 'Iya kalo buat Faye, lo pindah aja ke Ak.'sa.ra. Makanya, pas kita tau mereka lagi butuh marketing, kita kepikiran Faye. kayaknya dia banget, apalagi dia suka baca buku dan jago Inggris."

Gila itu kalimat kayaknya bikin gue gimana ya.. Gue merasa kenapa orang lain bisa menganggap gue bisa, sedangkan gue sendiri terkadang memandang rendah diri gue sendiri. Kadang gue nggak segitunya apa yang dibilang orang-orang. Tapi, kalau orang lain aja yakin sama gue, berarti gue harus lebih yakin sama diri gue sendiri dong ya.

Anyway, dari sini gue percaya Icinen itu ada dan benar nyata. Siapa sangka gue ketika ke aksara bermimpi kerja di sana, besoknya gue googling tentang aksara, dna smeinggu kemudian gue ditawarin kerja di sana.

'If you believe it, you can reach it..'