Yolody's Room

Monday, March 3, 2008

segala ditangkap melalui panca indera

Sekarang aku duduk disini, setelah bergegas keluar dari ruangan dingin itu. Kududuk di atas batu yang disusun rapi sebagai pembatas tanaman, dengan membelakangi ruangan yang membuatku membeku tadi. Kehangatan langsung menyerbu seluruh tubuh. Mulai dari menyentuh ujung bulu kudukku yang masih setia berjinjit, menyentuh kulitku dan akhitnya meresap perlahan melalui jutaan pori-pori tubuhku. Matahari bersinar cukup terik disini, walalupun tidak setajam sinar di musim kemarau di tengah-tengah Sudirman. Entah mengapa aku tak merasa kepanasan, tapi hanya kehangatan yang mengalir dalam tubuh yang kurasa. Kulihat sekeliling, dan oh.. kutahu jawabannya. Pohon-pohon hias dengan daun hijau yang menjadikannya sempuna, membuat suasana menjadi adem. Daun-daun hijau yang melambai-lambai mesra membuatku tak memperhatikan teriknya matahari, melainkan membuatku asik mengamati tengah dansa mereka.

Di depanku orang-orang berlalu-lalang membawa sekotak makanan hasil dari kehadirannya dalam pernikahan sakral di Kuil Hoseiji yang megah. Terlihat dari wajah-wajah mereka yang lemas tak bersemangat, sambil mencari-cari tempat duduk, untuk segera mengintip apa dibalik kotak tersebut. Maklum, waktu makan siang sudah tiba. Beberapa saat kemudian, pasangan mempelai dibalik gaun dan jasnya yang dirancang khusus datang menghampiri para tamu yang sedang asik bersantap. Kebahagiaan jelas terpancar dari aura wajah si pengantin wanita, terbukti dari senyuman mekar dan lesung pipi yang muncul sedalam-dalamnya.

Kuarahkan pandangan sedikit menjauh di sebrang kiri sana, memandangi bangunan megah bernuansa Jepang tempat bersatunya keluarga-keluarga baru, seperti yang baru saja dialami pasangan mempelai tersebut. Bila kita berjalan sekitar 10 meter dari kuil itu, nampaklah sebuah ruko tempat untuk menyalurkan TKI ke luar negeri.Buatku hal ini mengenaskan. Perbedaan sosial sungguh terasa. Di sebelah kiri ada kuil yang isinya adalah orang-orang yang berdoa dengan perasaan bahagia, lalu dengan hanya sebuah kedipan mata, di sebrang kanan pastilah banyak orang mendoakan bagaimana nasibnya mengemis sesuap nasi di negeri orang.