Yolody's Room

Tuesday, February 7, 2012

Life with Projectors




LIFE WITH PROJECTORS
Like a kite runner, Janto Susanto had to feel the wind before he could build his momentum.
But once he did, he soared higher into the sky and ultimately conquered it. For him,
doing business his way is a lot like mastering the art of running a kite.

Benda kecil bernama mesin proyektor sudah diakui kehebatannya untuk memudahkan aktivitas perusahaan di berbagai belahan dunia. Adalah Janto Susanto, Direktur Utama PT Triyaso Telekomindo, perusahaan distributor yang memperkenalkan mesin proyektor Infocus ke Indonesia. Dengan penampilannya yang sederhana dan cara bicaranya yang ramah, ia bercerita soal perjalanan bisnis ini dan prinsip hidupnya kepada FirstPriority.


Study, learn, and practice

Terlahir dari pasangan pedagang ikan asin di sebuah kota kecil Kuningan di tahun 1960, Janto Susanto adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Kegiatan sehari-harinya sedari remaja membantu orangtuanya berjualan di pasar, dan dari sanalah ia belajar bisnis secara otodidak. Ketika lulus SMA dan hendak masuk kuliah, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB), lalu ia memutuskan mengambil jurusan yang populer pada masa itu: teknik telekomunikasi.


Seusai kuliah, ia bekerja selama empat tahun di sebuah perusahaan telekomunikasi. Ketika itu jabatannya sales, yang pada akhirnya ia dipromosikan menjadi sales manager yang menjual produk alat ukur. Ia belajar cara berjualan dan sistem distribusi. Lalu, jiwanya serasa terpanggil untuk membangun bisnis sendiri, dan ia tak menunda waktu lagi dan mengundurkan diri dari perusahaan tersebut di usia 31 tahun. Ketika itu Janto dianggap ‘nekad’ oleh banyak orang, karena di saat pernikahannya akan berlangsung dua bulan lagi, ia justru melepaskan pekerjaannya.

Buatnya, usia untuk memulai bisnis sebaiknya tidak terlalu tua, karena ketakutan dalam hidup akan semakin besar seiring usia bertambah. Merasa cukup mengenyam teori yang selama kuliah dan pengalamannya bekerja sebagai sales baginya sudah cukup. Selanjutnya, ia harus melakukan praktek bisnis di bidang general supplier melalui PT yang dirintisnya bersama keempat kakaknya.


Trust is key

Bermodalkan uang 50 juta Rupiah, yang merupakan hasil urunan bersama kakak-kakaknya, Janto mulai merangkak perlahan-lahan. Pada masa transisi itu, ia melakoni hari dengan bertanya ke teman-teman yang bekerja di perusahaan besar dan mengajukan diri sebagai distributor barang. Sempat ia dibantu temannya menjadi distributor baterai Handy Talky di perusahaan minyak.


Dua tahun kemudian, keadaan berubah. Adiknya yang saat itu bersekolah di Amerika mencoba mengajukan proposal untuk menjadi distributor mesin proyektor Infocus di Indonesia. Proposal disetujui, lantas Janto dipercaya menjadi distributor sejak saat itu.


Ditanya rahasia sukses apa yang ia terapkan dalam menjalani bisnis, Janto tertawa renyah. “Caranya tidak canggih, resepnya hanya kepercayaan dan kerja keras. Kepercayaan itu timbal balik, karena komitmen penuh sifat kerja keras yang saya miliki, maka kakak dan teman-teman saya tak segan membantu,” ungkapnya.


Demikian juga terhadap customer, Janto menjalin hubungan berdasar kepercayaan dan menjamin kenyamanannya dengan fasilitas yang diberikan. Salah satu bentuknya adalah bila proyektor customer rusak, customer akan dipinjamkan proyektor lain sementara perbaikan sedang dilakukan.


Saved from a crisis

Menjadi distributor tunggal bukan berarti tak mengalami masalah. Saat krisis tahun 1998 lalu, daya beli masyarakat menurun drastis, dan itu berpengaruh pada tingkat penjualan proyektor. Hanya saja, Janto pintar melihat peluang, di mana saat itu internet semakin dibutuhkan untuk memperlancar komunikasi. PT Triyaso Telekomindo lantas mendistribusikan produk modem agar terus mendapat pemasukkan. Menyusul distribusi beberapa brand teknologi alat komunikasi lainnya.


Namun, dari sekian banyak merek, hanya Infocuslah yang paling kuat ‘chemistry’nya dengan Janto hingga kini. Terbukti, sejak tahun 1993 sampai sekarang ia dipercaya sebagai distributor tunggal brand tersebut.


Business Recipe


Di samping itu, Janto selalu berusaha untuk menyejahterakan ke-50 karyawannya. Di balik tubuh setiap karyawan tersebut, ada keluarga yang harus diberi makan. Jamsostek dan pemberian gaji yang layak selalu menjadi perhatiannya. Sedangkan prinsip yang ia terapkan ketika berhubungan dengan para karyawannya adalah prinsip kekeluargaan. “Office boy pertama saya masih bekerja sama saya sampai sekarang. Sudah 20 tahun loh.. Mungkin dia feels like home di sini,” katanya.


Tanggung jawab terhadap kehidupan karyawannya juga menjadi salah satu motivasi ia terus bertahan. Menurutnya, seorang pengusaha harus memiliki tanggung jawab itu, karena pada intinya di balik setiap perusahaan adalah manusia.


Lantas, bagaimana pandangannya soal para calon perintis usaha baru di Tanah Air?

Keberanian dan fokus yang kuat. Berani untuk memutuskan dan meninggalkan pekerjaan, juga mendalami pengetahuan di bidangnya menjadi tips darinya. ’’Kesempatan untuk berbisnis di Indonesia sudah lebih terbuka, walaupun saingan banyak. Jangan cuma orang asing yang bisa berbisnis di sini, tapi orang lokalnya juga harus lebih banyak,’’ ungkapnya.


Spiritual living

Di balik perjuangan dan perjalanan bisnisnya, Janto merasa ia termasuk beruntung karena tidak pernah mengalami kegagalan yang terpuruk. Jalan hidupnya seperti mengalir begitu saja ke arah yang lebih baik, taraf hidupnya meningkat, juga selalu bertemu orang-orang yang membantu.



Karena itu, untuk menyesuaikan kesuksesan yang digenggamnya, inilah saatnya untuk aktif kegiatan keagamaan dan berbagi dengan sesama. Namun ada sebuah mukzizat yang ia harapkan selama bertahun-tahun pernikahannya tapi tak kunjung muncul, yaitu keinginannya memiliki anak. Tapi, tidak memiliki anak, tak menjadi halangan baginya untuk menjalani dengan perasaan senang dan hidup sesuai ajaran agamanya.


“Saya hampir tidak pernah merasa stress. Jadi ya menjalani hidup seperti ini saja, senang tanpa harus merasa terbebani,” akunya sambil tersenyum.


Penulis: Faye Yolody

(Dimuat di majalah First Priority/Edisi 9)

***

No comments: