Yolody's Room

Tuesday, October 5, 2010

Tak Sama Tapi Serupa

Beberapa waktu lalu di siang hari saya naik taksi putih di tengah kesejukan kota Jakarta. Bisa dibilang, dari sepuluh hari terik, satu hari Jakarta terasa sejuk. Mungkin awan-awan sedang asyik bercinta dengan matahari, sehingga sinarnya tertutup dan tak sempat menyorot penduduk Jakarta. Taksi melaju ke arah patung Pancoran, di mana ada empat polisi berompi hijau sedang berkumpul. Kuperhatikan paras mereka satu-persatu. Mengingat-ingat siapa dari antara mereka yang pernah memintaku denda separo juta perak beberapa bulan lalu tanpa alasan yang jelas.

Alih-alih mengenyahkan perasaan sugestiku yang kuat pada polisi, saya malah susah untuk tetap tenang ketika melihat mereka. Memang, sejak peristiwa itu, saya selalu merasa parno kalau melihat polisi lalu lintas. Tak lama kemudian, saya berurusan dengan aparat. Kali ini Brimob, bukan polisi lalu lintas. Saya pikir dunia sama sekali tak adil, mengapa giliran dia yang salah, saya tak bisa balas menilang?

Berawal dari ketika sebuah motor menyerempet tubuh mobil sebelah kanan dengan badan besinya. Motor itu lantas begitu saja melewati taksi yang kutumpangi. Jaket bercorak militer dikibar angin. Tulisan “BRIMOB’ terpampang jelas di tasnya yang diletakkan di belakang. Seakan ia ingin memberitahu dunia, ‘hanya BRIMOB yang boleh macam-macam’.

“Dasar, brimob-brimob-an,” gumamku.

Tiba-tiba, si sopir taksi balas menyambung.


“Sekarang Brimob sudah nggak kayak dulu lagi. Dulu bisa main hajar langsung. Kalau sekarang, saya juga berani kalau diajak berantem sama Brimob. Saya berani suruh dia lepas seragamnya dulu,” ucap pak sopir sambil terus mengemudi dengan santai.


Beberapa jam kemudian setelah kejadian itu, saya membunuh waktu di sebuah kedai kopi. Pemandangan di depan saya orang-orang sedang sibuk bercengkrama dengan para relasinya. Wajah mereka menggambarkan keseriusan, entah sedang membicarakan suatu hal yang penting, atau hanya agar sekedar terlihat eksis. Sambil sedikit melamun dan memperhatikan bahasa tubuh mereka, pikiran saya melayang kembali pada peristiwa itu.

Sempat saya menduga bahwa itu hanya orang yang memakai jaket Brimob, mungkin ia membordir di tukang jahit langganannya. Tapi, mungkin hanya orang gila yang berani melakukan itu. Jadilah saya semakin berpikir negatif terhadap aparat. Kasarnya, sok-sok ngajarin yang bener tapi malah menjilat ludah sendiri.

Rasa kesal belum tuntas terobati,kembali saya berurusan dengan aparat. Para wajib militer yang bergerombol di dalam truk. Sebut saja ABRI. Mobil kantor yang sedang saya tumpangi pada minggu lalu, diberhentikan seorang polisi di jalur sebelah kiri jalan tol. Anto, sopir saya, turun dan berdebat sambil merayu sedikit agar terlepas dari denda tilang.

“Dan.. Maaf deh, Dan..” Kata Anto, memanggil si polisi dengan sebutan ‘Komandan’. Lantas ia memperlihatkan kartu persnya yang fotonya sudah pudar. “Ini mau liputan, Dan. Maaf saya salah, Dan,” lanjutnya.


“Ya nggak ngaruh mau pakai kartu apa juga,” kata si polisi
Di dalam mobil saya berdoa dan tangan saya sudah berkeringat. Parno lagi.Was-was lagi.


Akhirnya, setelah beberapa menit, kami ‘dibebaskan tanpa syarat’. Lega sekali rasanya. Saya ingin mulai berpikir positif tentang polisi. Ternyata tak semua polisi mata duitan. Mobil kembali menggelinding di jalur yang benar. Tak lama, sebuah mobil besar mendahului kami dari jalur kiri. Mobil ABRI.


Anto mencak-mencak di samping saya. “Tuh kan, giliran ABRI aja boleh pakai jalur kiri!”

Entah itu polisi lalu lintas, Brimob maupun TNI, smuanya tak sama tapi serupa.

Sekali lagi saya menggeleng-geleng kepala sambil melihat jalanan melalui jendela.

(re-posting dari notes FB)

No comments: