Yolody's Room
Wednesday, April 22, 2009
Antrian demi sepatu karet CROCKS
Can't wait to pour my blog a few of words..
Hari Rabu adalah hari santai untuk saya, di mana saya libur ngajar dan waktu saya untuk mengurus persiapan skripsi dan sidang. Pagi ini, di ruang makan saya membaca Kompas sambil ditemani sepiring nasi dan kedua anjing saya. Dalam salah satu artikel Kompas diberitakan bahwa sendal Crocks lagi diskon gila-gilaan sampai 70 persen di Senayan City. Jadilah detik itu pula di dalam benak saya terancang jadwal padat hari untuk hari ini.
Girang hati saya membayangkan malam ini saya membawa pulang sepasang rubber shoes hitam Crocks seharga kira-kira 200 ribuan. Wah kapan lagi, pikir saya dalam hati.
Jadilah saya melaksanakan rencana saya hari itu dengan tepat waktu. Habis ketemu dosen untuk minta tanda tangan, saya makan di kampus, dengan niat biar nanti saya ada tenaga menyerbu dan berebutan sepatu. Dengan kaki pegal saya pergi naik busway dari halte karet dan turun di Bundaran Senayan, di mana saya harus berjalan kaki lumayan jauh untuk sampai di Senayan City.
Ok, saya sudah sampai di seberang Senayan City, dan dengan dua kali menyebrang jalan, saya akan masuk. Ketika hendak menyeberang, sekelibat saya entah di mana melihat tulisan promosi Crocks tersebut. Oh, untung kesadaran saya tinggi untuk segera kembali memperhatikan jalan, kalau nggak dijamin saya sudah dikecup mobil!
Akhirnya saya masuk mall megah ini dengan keringat menempel di baju hijau saya. Oh sejuknya udara, saya berguman. Saya meluncur ke arah lift untuk naik ke lantai 8 di mana crocks dijual. Di sebelah saya ada beberapa orang dengan tujuan yang pasti dan yakin sama dengan saya, berburu sepatu karet. Ting! lift terbuka.
Kaget bukan main, di depan saya terlihat antrian yang sangat panjang, dan sekitar 1000 orang mengantri dengan semangat. Ada yang sambil makan eskrim, nelpon, ngobrol.. Wah ada apa ini? Jangan-jangan.. Akh saya langsung menghibur hati. Paling juga antri dokter gigi, pikir saya. Tapi masa sih segitu banyak orang yang sakit gigi? Lalu saya beranikan dir iuntuk bertanya pada satpam yang memegang HT dan mengatur barisan.
"Mas, ini antri apa ya?" Tanya saya ragu.
"iNI ANTRI Crocks, mbak." Saya menelan ludah.
"Antri Crocks?? Buat bayar??" Saya menelan lagi.
"Bukan, buat masuk tokonya. kira-kira dua setengah jam ngantrinya, baru bisa masuk."
Wow, saya tidak percaya segitu banyak orang yang tergila-gila pada sepatu karet ini. Ngantri sudah menjadi tren saat ini, tapi tidak buat saya. Toh saya tidak bakal gila kalau nggak punya sepatu karet itu. Dengan berat hati saya terus berjalan, berjalan dan melihat-lihat toko sepatu lain untuk menggantikan rasa kecewa saya. Setelah melihat-lihat sampai mules sendiri,saya ke Starbucks, tempat favorit saya.
Lumayan, dengan membawa tumbler starbucks yang saya punya, saya hanya cukup mengeluarkan 17.000 untuk caramel frapuccino. Lalu, niatnya saya menuang bubuk coklat di atasnya, yang saya ambil malah tabung cinnamon, dan saya sudah terlanjur banyak menuang.
Sambil minum kopi, saya menghabiskan 50 lembar terakhir novel "remember me?" dan akhirnya pulang tanpa sepatu karet Crocks.
Friday, April 3, 2009
Dia pengganti ayam berkokok
Dia membangunkanku di pagi hari dengan deruan motornya di depan pagar rumah.
Dengan suara yang khas dan terdengar seperti anak berumur 16 tahun, ia memanggil namaku sambil sesekali mengetuk pagar.
Dengan gontai ku menuruni tangga, dan daster merah mudaku melambai di tubuhku.
Kukucek mata dan menguap, mengambil beberapa lembar uang di meja. Kulihat tubuhnya dari sela pagar. Fiber putih yang terpasang di pagarku membuatku tak bisa melihat seperti apa rupa wajahnya. Dia hanya memberiku kantong plastik berisi ayam potong yang masih mentah dengan tangannya yang gempal.
Kuucapkan terima kasih ketika sudah kuambil ayam mentah itu, dan tawa riangnya menyertai ketika ia bersiap pergi dengan motornya.
Dia adalah Wito, si penjual ayam berumur 35 tahun yang baik dan selalu mengantar ayam pesanan ke rumahku. Suatu hari nanti, aku akan menulis sesuatu tentangnya, dengan permulaan menulis tentang dirinya di layar ini.
I have decided
I stepped a stair in my life, and i found something that I won't be teacher for longer, even I still have no clear sight about who and what I will be in future.
I don't know specifically what makes me think like this. It suddenly appeared since last weeks and maybe because I don't want to be same with anyone. I want to be a different woman (and I know it's impossible), and it might appeared in spite of my arrogance or revenge of my jealousy.
I have decided. But I haven't decided yet about what I'am going to do in my life, now and later on.
Subscribe to:
Posts (Atom)