Keeping
Penampilannya sederhana, mengenakan kaos dan celana panjang yang serba hitam, lengkap dengan jaket yang dibordir lambang bendera merah putih. Dari dalam dirinya mengalir darah seni dan ide untuk mengangkat derajat negara
Blast from the past
Persis 20 tahun yang lalu, Jay hanyalah seorang mahasiswa jurusan arsitektur di universitas negeri terkemuka di
Teman seperjuangannya dari kuliah adalah seorang komposer
Jay yang sudah yakin akan ketertarikannya pada dunia audio visual, membantu Erwin menggelar konser bandnya saat itu yang bernama Karimata, sebagai desainer lightingnya. Selanjutnya, bukan sebuah kebetulan mereka memiliki misi yang sama untuk menyelenggarakan konser untuk artis-artis Tanah Air yang berprestasi.
Pencapaian Jay berbuah di tahun 1994 melalui konser almarhum Chrisye yang pertama, di JCC Plenary Hall
Kembali, ia dipercaya untuk menggelar konser Chrisye yang kedua ’Badai Pasti Berlalu’ di tahun 2000. Merasa dirinya harus berkembang dan melanjutkan karya sesuai idealismenya, pria yang bernama lengkap Agara Wijaya Subyakto ini memutuskan keluar dari stasiun TV tersebut. ’’Industri televisi saat itu mulai bergantung pada rating, tak lagi mengutamakan program-program berkualitas, menurut saya itu pembodohan namanya,’’ ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, proyek-proyek konser berikutnya menyusul, mulai dari Ruth Sahanaya, Krisdayanti, 3 Diva, Rockestra (band Dewa, Slank, dan Gigi), sampai Anggun. Dari sanalah, nama seorang Jay Subiakto terdengar secara luas di dunia entertainment, lengkap dengan embel-embel idealismenya: hanya ingin menyelenggarakan konser khusus artis Indonesia.
My Father
Ada seseorang yang sangat memberinya inspirasi dan membuatnya menjadi seorang yang nasionalis, yaitu sang ayah. Jay mengakui, walaupun ayahnya adalah kepala staf tentara AL dengan citra yang kaku dan serius, tapi ternyata sangat mencintai seni. Sedari masih di kandungan, Jay sudah berkeliling dunia sementara ayahnya bertugas dinas. Lantas apa saja yang diajarkan sang ayah sehingga pria yang dilahirkan di Turki ini memiliki kecintaan yang tinggi terhadap Indonesia?
’’Ayah saya selalu bilang bahwa jangan pernah menganggap negara Barat paling hebat dan saya harus mencintai Indonesia,’’ ungkap pria yang menyukai fotografi ini. ’’Semisal saat saya ke Amerika, ayah memperlihatkan betapa ada perbedaan warna kulit yang sangat mencolok dan orang-orangnya individual. Kalau tidak masuk sekolah, tak akan ada teman yang meminjamkan catatan untuk saya,“ lanjutnya.
Proses transisi dari Jay junior ke masa dewasa, menggiringnya ke keputusan memilih karir. Dalam hidup, ayahnya membebaskannya untuk menjadi apa saja, asalkan Jay harus memiliki gelar sarjana dan mengenyam ilmu eksak yang akan berguna di kemudian hari. Itu juga yang membuatnya mengambil jurusan arsitektur di bangku kuliah.
Keputusannya untuk menjadi seorang sutradara dan penata artistik di dunia entertainment serta merta juga dilakukan sesuai pedoman sang ayah. “Ayah saya bilang, “bagaimanapun yang terbaik adalah negeri kamu, dan kamu akan dihargai orang ketika idemu orisinil dan berasal dari negerimu sendiri,” ” katanya seraya menirukan ucapan sosok inspirasinya itu.
Move. Create. Satisfy
Menjadi orang yang sering merasa bosan bisa menjadi hal yang positif untuk Jay. Dengan segala talenta yang ia miliki di bidang seni, Jay tidak hanya terpaku pada satu profesi, karena hal itu akan menimbulkan kejenuhan. Di samping menjadi produser, sutradara video klip dan iklan, Jay juga menjadi penata artistik teater musikal yang baru-baru ini dipentaskan yaitu ‘Matah Ati‘ dan ‘Musikal Laskar Pelangi‘.
Dalam musikal Matah Ati, Jay berkontribusi dalam memasukkan unsur wayang orang sebagai bentuk kebudayaan Indonesia. Kebudayaan wayang yang dipandang sebagai budaya yang kaku oleh para generasi muda, dimodifikasi tanpa menghilangkan pakem yang ada, lalu dijadikan format musikal. Menanggapi ketakutan pertunjukan tersebut tidak akan diminati di Indonesia, Jay melakukan strategi khusus. “Orang Indonesia kebanyakan lebih menyukai karya luar negeri. Jadi, Matah Ati dipentaskan dulu di Esplanade Singapura, dan ternyata responnya bagus sekali, setelah itu baru dipentaskan di sini,“ ungkapnya.
Dalam mempersiapkan Musikal laskar Pelangi pun, Jay bersama Toto Arto, Mira Lesmana, Riri Riza, Erwin Gutawa, dan Hartati menyatukan misi untuk menyebarluaskan isu krusial yang terjadi di Indonesia, yaitu masalah pertambangan dan imbasnya pada masyarakat, seperti yang diceritakan dalam novel Laskar Pelangi. Kemasannya dibuat semenarik mungkin melalui warna musik, koreografi, akting, sampai set panggungnya. ‘‘Dalam berkarya, yang penting buat saya adalah kepuasan diri ketika orang lain puas ketika menonton, jadi mereka pulang tidak hanya sekedar terhibur,‘‘ papar pecinta nasi liwet ini.
I’m not an artist
Di mata publik, Jay Subyakto dikenal sebagai seorang seniman Indonesia yang produktif berkarya sejak tahun 90an hingga kini. Tapi, ia justru merasa enggan bila disebut seniman. ‘‘Seniman itu kan orang yang hebat sekali, sementara saya hanya ada di belakang layar, membantu mengemas format acara para seniman itu,“ kilahnya. Lantas, apa kunci yang membuatnya selalu bisa berkarya dari masa ke masa, sementara banyak generasi-generasi baru di dunia entertainment?
Jay mengakui dirinya sangat selektif dan tidak terlalu sering mengerjakan proyek. Ia selalu mempertimbangkan siapakah yang mengajaknya bekerja sama. Apabila ada tujuan pribadi dan yang tidak sesuai dengan prinsipnya, ia akan menolak untuk bekerjasama. ‘‘Saya tipe yang tidak sering menjalankan proyek, tapi sekali bekerja, persiapannya akan panjang supaya hasilnya bagus,“ jelasnya. Soal pemasukkan honorpun ia tidak ambil pusing. “Saya tidak terlalu memikirkan uang ketika bekerja. Kalau kita tidak merasa cukup, sampai kapanpun uang akan selalu kurang,“ lanjutnya.
Karena itu Jay sangat menghargai keluarganya yang mengerti profesinya ini, walaupun tidak menghasilkan uang berlimpah, yang terpenting adalah ketika bekerja perasaannya senang. Apalagi menurutnya, kesenian adalah salah satu sarana untuk membangun negara.
Ia mencontohkan negara lain yang sukses membuat pertujukan broadway, juga patut kita perhatikan. Katanya lagi, Indonesia juga harus membuat suatu format seni pertunjukan yang baru, bukannya justru mengadopsi musikal broadway, seperti yang sekarang ini sering dilakukan di sekolah atau universitas di Indonesia. ‘‘Coba misalnya yang memerankan tokoh Cinderella itu orang Indonesia, ya nggak cocok. Sama halnya kalau bule jadi gatot kaca,‘‘ ungkapnya.
What’s next?
Ada beberapa impian yang masih ingin dicapai dalam hidupnya, di antaranya yaitu membuat film soal alam Indonesia, dengan konsep yang menurutnya belum pernah dibuat di Indonesia. Konsentrasinya adalah pada permainan audio visual, tanpa bergantung pada dialog naskah.
Sementara itu, ia juga sedang mengerjakan buku foto bersama beberapa temannya. Isi bukunya di samping mengenai keindahan alam, juga mengangkat soal kerusakan alam yang diakibatkan oleh manusianya sendiri. Buatnya, sungguh ironis bila yang diperlihatkan hanyalah keindahan alam Indonesia semata, padahal ada banyak isu lingkungan yang seharusnya diperlihatkan ke masyarakat dan cepat ditangani.
Di samping itu untuk memajukan industri kesenian, Jay berpartisipasi untuk menjadi konsultan pembangunan gedung pertunjukkan baru di Bali di waktu mendatang. Ayah dari seorang anak yang bernama Kaja Anjali ini mengidolakan kebudayaan dan adat istiadat yang ada di Bali, karenanya apabila gedung pertunjukkan tersebut terealisasi, ia berharap bisa menjadi wadah untuk mempertahankan kebudayaan di sana. ‘‘Tentu tak hanya di Bali, tapi kota-kota besar di Indonesia harus mengikuti jejaknya dengan menyediakan fasilitas kesenian yang layak untuk masyarakat,“ katanya.
Pada intinya, semua karya yang Jay hasilkan sepenuhnya berdasarkan moto hidupnya, yaitu kenapa tidak kita membuat sesuatu yang positif dan tidak terpikir oleh orang lain.
Photos: Panca Syurkani
(Dimuat di Media Indonesia Magazine for Ipad/edisi2)
***
No comments:
Post a Comment