Hari ini saya naik Transjakarta (bukan naik busway) dari Grogol menuju Pancoran. Selama ini, saya menganggap ketidaknyamanan naik TransJ disebabkan oleh hal-hal berikut:
-Desak-desakkan (bau ketek alias polusi udara)
-Interior bus semakin jelek
-Armada sedikit
Yah kira-kira begitu, kalau tulis kebanyakan saya takut diciduk om Foke yang ngaku sebagai 'sang ahli' pas masa kampanye.
Hari ini, saya menemukan faktor lain yang bikin nggak nyaman di TransJ, yaitu: polusi suara.
Kejadian di halte Slipi, petugas pintunya memang rajin sekali bekerja. Setiap kali bus akan berhenti, ia selalu mengumumkan perhentian berikutnya, padahal speaker pun nyala. Lalu, seorang bapak tua India atau Arab (apapun itu) berkumis seperti Hitler menerima telepon, dengan suara kencang sekencang-kencangnya.
"AH WAHL SYA LA LA LNG BLE ZUI GIL BLE HGUERHGJE RHFHERU BFUVHEURH WIEJRU!"
Semoga meneleponnya tak lama, pikirku.
"ERUHUIE FJURE REUHG AOIRJ ERUGPOEF AERUHG DVU!!"
Suaranya semakin keras.
Tak lama, seorang ibu di bangku belakang tak mau kalah, juga menjawab telepon. Untungnya ia perempuan, jadi suaranya lebih halus.
"Iya, diselesaikan dengan kekeluargaan saja.."
"JSHFU RH UHER EHG WOIRU HFUREH RITUDFJ JGAH!!!"
Lalu, si petugas pintu yang rajin itu kembali mengumumkan.
"Pemberhentian selanjutnya, halte Semanggi. Periksa barang-bar.."
"SDHFH RJFJDC UHU H UR F IFWIR RGFYUEQH RU JKADHFI AURFH!!!"
"Apa? Oh ya, iya.. saya tahu.."
".. dan hati-hati melangkah."
"JDFH RGHER UFHURHG EHRGU ARUGUHWE F WRUF!!!!!"
"Iya, oke daaah.."
"Melangkah hati-hati, terima kasih."
"EUHFRU ERHGUEH A UHRCUH HQWE HRFH!!!!"
Selanjutnya, kompetitor lain kalah telak. Suara si Ibu menghilang, dan si petugas kayaknya minder juga. Si kumis Hitler jadi juara tunggal. Kupingku jadi mau tak mau hanya mendengarkan suaranya. Terus menerus, sampai halte Kuningan kalau tak salah. Bisa bayangin, dari Slipi ke Kuningan dengan jalanan macet itu memakan waktu cukup lama, bukan?
Gila.
Saya ngebayangin, punggung bapak itu yang posisinya persis di belakangku, kusodok pakai payung yang ada di dalam tas ibu-ibu di sampingku.
Di otakku, kejadiannya begini: Saya pinjam payung ibu itu, terus kudorong ujung payung itu ke arah kepala si bapak edan itu, sampai kepalanya kejedut tiang di depannya. Lalu dia marah, mau memukul saya Tapi, penumpang lain dan si petugas yang rajin tentu membela saya. Alhasil malah bapak itu yang digebukin rame-rame.
Lalu, saya disorak-soraki lalu dilempar ke udara selayaknya pahlawan. Lalu saya diberi gelar sebagai "Transjakarta Superhero", lalu diberikan fasilitas naik TransJ gratis seumur hidup. Bahkan, bus TransJ juga disediakan khusus untuk menjemput saya di kantor setiap sore."
(okay, saya tahu khayalannya agak nggak penting. Beginilah kalau punya profesi penulis, khayalannya agak ajaib.)
Kembali ke si kumis Hitler. Memang mentang-mentang dia berada si negara orang, dan orang nggak mengerti bahasanya dia, dia lantas teriak-teriak seenak kumisnya?
Huh, benar-benar..
No comments:
Post a Comment